Melepas Jerat Kekacauan Alam
By Unknown 13:24:00 Berita Indramayu , Indramayu , Radio Indramayu , Sains
Perubahan cuaca telah menjungkirbalikkan kehidupan petani. Perkebunan dan persawahan yang dahulu memakmurkan mereka kini tak lagi memberikan kehidupan bagi para pengolahnya. Petani seolah memasuki zaman Kalatida, zaman serba susah.
Hampir semua petani dan buruh tani kini merasakan kesusahan bertani. Petani mangga salah satunya. Mangga yang selama ini menopang hidup mereka tak berbuah, sekalipun di lokasi-lokasi yang selama ini dikenal sebagai sentra buah-buahan, yaitu Indramayu, Cirebon, dan Majalengka, Jawa Barat.
Buah yang biasanya menjejali pepohonan di perkebunan, pekarangan, dan di pinggir jalan kini sulit ditemui. Tak hanya di perkotaan, mangga juga susah didapatkan di pedesaan, mulai dari pesisir pantai hingga dataran agak tinggi dekat pegunungan.
Juni (37), pemilik pohon mangga di Jatibarang, Indramayu, kini tak bisa menikmati uang tambahan dari tiga pohon mangga yang tumbuh di pekarangan. Pada musim mangga tahun lalu, tak satu pun pohon mangganya berbuah.
Praktis tiada penghasilan tambahan baginya yang sehari-hari bekerja sebagai petani di sawah. Padahal, biasanya Juni menggunakan uang hasil panen mangga untuk biaya sekolah ketiga anaknya.
Sarpim (50), pemborong mangga bersepeda ontel, juga merasakan kehilangan daya hidup. Tanpa panen mangga, berarti ia kehilangan pekerjaan rutin.
Setiap hari selama 20 tahun, pekerjaan Sarpim adalah berkeliling dari desa ke desa dari ujung Cirebon sebelah utara hingga sisi timur, berbatasan dengan Jawa Tengah. Ia datang ke warga pemilik tanaman mangga untuk membeli mangga milik mereka yang belum berbuah.
Harganya hanya Rp 150.000-Rp 300.000. Namun, saat pohon-pohon itu berbuah, ia bisa mengantongi dua kali lipat dari modal karena pohon itu menghasilkan 3-4 kuintal buah.
Malang tak kuasa ditolak. Tahun lalu Sarpim geleng-geleng kepala. Sangat sedikit pohon yang ia cermati berpotensi untuk berbuah. Angin dan hujan terus-menerus membuat ia goyah untuk membeli pohon mangga dengan harga tinggi.
Manggis
Musibah tak hanya menimpa petani mangga. Petani manggis di Purwakarta, Jawa Barat, pun merasakan hal yang sama. Perubahan cuaca turut mengubah nasib Ujang Keden (48) dari bandar beromzet Rp 20 juta sehari menjadi pengecer manggis di tepi jalan raya Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Pohon manggis kini jarang berbuah dan peluang ekspor tak terpenuhi. Manggisnya berakhir di kios di tepi jalan.
Merosotnya produksi perkebunan juga terlihat di lahan tebu yang tersebar di Cirebon. Hujan yang berlarut-larut mengakibatkan serangan hama tikus meningkat dan ongkos angkut tebu melonjak. Ongkos tebang angkut yang biasanya hanya Rp 8.000 per kuintal menjadi Rp 25.000 per kuintal. Tingkat rendemen pun turun hampir 1 persen dari rata-rata rendemen tahun 2009 yang sebesar 7,04 persen.
Zaman Kalatida
Kehancuran nasib petani karena kekacauan iklim ini sudah dirasakan oleh para petani setahun terakhir. Mereka merasakan bahwa menanam padi tak untung dan menanam buah-buahan pun tak menghasilkan uang. Ketika panen, mereka pun tak menikmati harga-harga tinggi karena hama menaikkan biaya produksi mereka.
Petani seolah merasakan diri mereka terseret pada arus zaman Kalatida. Zaman yang oleh pujangga Keraton Surakarta, Ronggowarsito, disebut sebagai zaman edan, serba susah dalam berusaha, dan ikut gila tidak akan tahan, tetapi kalau tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian. Semuanya pun berakhir pada kemiskinan dan kelaparan.
Tasrib Abubakar, petani yang sudah 40-an tahun bergelut dengan alam, menuturkan, petani kini harus menyesuaikan dengan alam. Perubahan alam bukanlah untuk dilawan.
Selama ini, demi mengejar kebutuhan hidup, petani sering kali memaksakan diri. Mereka tetap menanam pada saat musim banjir datang. Tanaman yang hanya cocok untuk dua kali tanam dipaksa untuk tiga kali tanam. Akhirnya yang datang bukan hanya limpahan panen, melainkan juga hama tanaman.
Langkah kecil untuk beradaptasi dengan alam telah dilakukan sejumlah petani. Idris (56), petani mangga dari Desa Greged, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, mencoba beradaptasi dengan alam dengan cara memelihara tanaman secara lebih intensif.
Idris lebih sering menyemprotkan zat perekat bunga dan fungisida ke tanaman buahnya dari sepekan sekali menjadi sepekan tiga kali. Hasilnya, ia masih bisa panen mangga sebanyak 60 persen dari kondisi panen normal pada tahun lalu, yakni 100 kilogram per pohon.
Langkah lain juga dilakukan oleh Turida, petani padi di Cirebon, yang tidak memaksakan diri menanam padi tiga kali dalam setahun untuk menghindari hama. Turida pada musim kemarau memilih menanam kacang hijau sebagai komoditas utama. (kompas)
Langkah-langkah kecil menyeimbangkan diri dan beradaptasi dengan alam itu diharapkan akan menjadi langkah besar petani untuk keluar dari kungkungan ketidakseimbangan alam
Hampir semua petani dan buruh tani kini merasakan kesusahan bertani. Petani mangga salah satunya. Mangga yang selama ini menopang hidup mereka tak berbuah, sekalipun di lokasi-lokasi yang selama ini dikenal sebagai sentra buah-buahan, yaitu Indramayu, Cirebon, dan Majalengka, Jawa Barat.
Buah yang biasanya menjejali pepohonan di perkebunan, pekarangan, dan di pinggir jalan kini sulit ditemui. Tak hanya di perkotaan, mangga juga susah didapatkan di pedesaan, mulai dari pesisir pantai hingga dataran agak tinggi dekat pegunungan.
Juni (37), pemilik pohon mangga di Jatibarang, Indramayu, kini tak bisa menikmati uang tambahan dari tiga pohon mangga yang tumbuh di pekarangan. Pada musim mangga tahun lalu, tak satu pun pohon mangganya berbuah.
Praktis tiada penghasilan tambahan baginya yang sehari-hari bekerja sebagai petani di sawah. Padahal, biasanya Juni menggunakan uang hasil panen mangga untuk biaya sekolah ketiga anaknya.
Sarpim (50), pemborong mangga bersepeda ontel, juga merasakan kehilangan daya hidup. Tanpa panen mangga, berarti ia kehilangan pekerjaan rutin.
Setiap hari selama 20 tahun, pekerjaan Sarpim adalah berkeliling dari desa ke desa dari ujung Cirebon sebelah utara hingga sisi timur, berbatasan dengan Jawa Tengah. Ia datang ke warga pemilik tanaman mangga untuk membeli mangga milik mereka yang belum berbuah.
Harganya hanya Rp 150.000-Rp 300.000. Namun, saat pohon-pohon itu berbuah, ia bisa mengantongi dua kali lipat dari modal karena pohon itu menghasilkan 3-4 kuintal buah.
Malang tak kuasa ditolak. Tahun lalu Sarpim geleng-geleng kepala. Sangat sedikit pohon yang ia cermati berpotensi untuk berbuah. Angin dan hujan terus-menerus membuat ia goyah untuk membeli pohon mangga dengan harga tinggi.
Manggis
Musibah tak hanya menimpa petani mangga. Petani manggis di Purwakarta, Jawa Barat, pun merasakan hal yang sama. Perubahan cuaca turut mengubah nasib Ujang Keden (48) dari bandar beromzet Rp 20 juta sehari menjadi pengecer manggis di tepi jalan raya Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Pohon manggis kini jarang berbuah dan peluang ekspor tak terpenuhi. Manggisnya berakhir di kios di tepi jalan.
Merosotnya produksi perkebunan juga terlihat di lahan tebu yang tersebar di Cirebon. Hujan yang berlarut-larut mengakibatkan serangan hama tikus meningkat dan ongkos angkut tebu melonjak. Ongkos tebang angkut yang biasanya hanya Rp 8.000 per kuintal menjadi Rp 25.000 per kuintal. Tingkat rendemen pun turun hampir 1 persen dari rata-rata rendemen tahun 2009 yang sebesar 7,04 persen.
Zaman Kalatida
Kehancuran nasib petani karena kekacauan iklim ini sudah dirasakan oleh para petani setahun terakhir. Mereka merasakan bahwa menanam padi tak untung dan menanam buah-buahan pun tak menghasilkan uang. Ketika panen, mereka pun tak menikmati harga-harga tinggi karena hama menaikkan biaya produksi mereka.
Petani seolah merasakan diri mereka terseret pada arus zaman Kalatida. Zaman yang oleh pujangga Keraton Surakarta, Ronggowarsito, disebut sebagai zaman edan, serba susah dalam berusaha, dan ikut gila tidak akan tahan, tetapi kalau tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian. Semuanya pun berakhir pada kemiskinan dan kelaparan.
Tasrib Abubakar, petani yang sudah 40-an tahun bergelut dengan alam, menuturkan, petani kini harus menyesuaikan dengan alam. Perubahan alam bukanlah untuk dilawan.
Selama ini, demi mengejar kebutuhan hidup, petani sering kali memaksakan diri. Mereka tetap menanam pada saat musim banjir datang. Tanaman yang hanya cocok untuk dua kali tanam dipaksa untuk tiga kali tanam. Akhirnya yang datang bukan hanya limpahan panen, melainkan juga hama tanaman.
Langkah kecil untuk beradaptasi dengan alam telah dilakukan sejumlah petani. Idris (56), petani mangga dari Desa Greged, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, mencoba beradaptasi dengan alam dengan cara memelihara tanaman secara lebih intensif.
Idris lebih sering menyemprotkan zat perekat bunga dan fungisida ke tanaman buahnya dari sepekan sekali menjadi sepekan tiga kali. Hasilnya, ia masih bisa panen mangga sebanyak 60 persen dari kondisi panen normal pada tahun lalu, yakni 100 kilogram per pohon.
Langkah lain juga dilakukan oleh Turida, petani padi di Cirebon, yang tidak memaksakan diri menanam padi tiga kali dalam setahun untuk menghindari hama. Turida pada musim kemarau memilih menanam kacang hijau sebagai komoditas utama. (kompas)
Langkah-langkah kecil menyeimbangkan diri dan beradaptasi dengan alam itu diharapkan akan menjadi langkah besar petani untuk keluar dari kungkungan ketidakseimbangan alam
Orang Pertama Yang Melakukan Siaran Radio
By Unknown 13:19:00 Sejarah Radio , Seputar Radio
Orang pertama yang melakukan siaran radio dengan suara manusia adalah Reginald Aubrey Fessenden. Ia melakukan siaran radio pertama dengan suara manusia pada 23 Desember 1900 pada jarak 50 mil (dari Cobb Island ke Arlington, Virginia).
Reginald Aubrey Fessenden, lahir 6 Oktober 1866 – meninggal 22 Juli 1932 pada umur 65 tahun adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berjasa dalam perkembangan teknologi radio. Ia adalah salah satu penemu radio, ahli fisika Amerika Serikat, insinyur, dan guru besar ilmu fisika. Fessenden lahir pada tanggal 6 Oktober 1866 di Bolton Timur, Quebec, Kanada. Ia telah berhasil membuat 500 penemuan, diantaranya yaitu alternator, detektor, heterodin, fathometer, dan penggerak turbo listrik untuk kapal tempur.
Alternator adalah alat untuk membangkitkan listrik dan menghasilkan arus bolak balik.Dengan adanya alternator telah mendorong terciptanya radio telepon. Detektor adalah alat untuk mengubah arus bolak balik menjadi arus yang searah. Sedangkan, Heterodin adalah alat untuk mengubah frekuensi radio sehingga frekuensi tersebut mudah diatur dan dapat diperkuat.
Fessenden melewatkan masa pendidikannya di Trinity College di Port Hope, Ontario dan di Bishop’s University di Lennoxville, Quebec. Perjalanan kariernya dimulai dengan menjadi guru dan kepala sekolah di Whitney Institute. Selama mengurusi sekolah tersebut, ia melakukan percobaan-percobaan di bidang listrik dan kimia. Kemudian ia pindah ke New York, Amerika Serikat dan melamar pekerjaan di laboratorium Edison di Orange, New York. Ia diterima sebagai kepala bagian di bidang kimia.